Bayangkan Agus. Dia sedang mencari pekerjaan & saat ini sudah sampai di ruang interview. Ternyata, interviewer-nya sedikit telat. Agus tidak masalah dengan hal tersebut. Selepas interview, perutnya berbunyi keras minta diisi. Jadi dia pergi ke kantin perusahaan, yang mana ada nilai-nilai perusahaan di tempel di dinding kantin. Ini pertama kalinya dia membaca nilai-nilai perusahaan tersebut. Salah satunya tertulis “Tepat Waktu”.

Rasa ragu mulai muncul. Agus bilang ke dirinya sendiri, “Seandainya aku jadi masuk, bakal aku pantau nih ketepatan waktu orang-orang di sini. Probation-nya bakal aku langsung putus, kalau ternyata nilai ini cuma hiasan belaka. Jangan salah, aku sadar aku bukan orang sering tepat waktu. Cuma… Cukup sudah. Ga mau lagi kerja di tempat yang cuma klaim nilai-nilai positif. Itu biasanya tanda-tanda betapa busuknya perusahaan tersebut.”

Semua orang bilang budaya itu penting. Tapi kebanyakan kita kelabakan pas menjelaskan apa itu budaya.

Gapapa. Sebagaimana ‘cinta’, ‘ budaya’ adalah konsep besar bikinan manusia. Mereka kita ciptakan untuk mengkomunikasikan perasaan-perasaan subyektif manusia – yang juga ada sejak nenek moyang kita belum pakai baju. Wajar kalau akhirnya makna kata mereka ga tajam & luas. Mereka punya banyak arti & konteks.

Nah, konteks profesional kita menuntut adanya definisi yang jelas. Kalau ga paham definisinya, gimana bisa kita perbaiki? Pegawai-pegawai bagus bisa cabut – komplain tentang budaya perusahaan – sementara manajemen ga merasa ada yang salah. Boleh jadi, mereka punya pemahaman yang beda tentang apa itu ‘budaya’.

Buat saya, definisi ‘budaya’-nya Edgar Schein cukup tajam. Setidaknya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan besar saya tentang ‘budaya’. Terlebih, definisinya praktikal banget. Memberikan landasan untuk merencanakan aksi-aksi yang diharapkan bisa membentuk ulang budaya tim/organisasi sehingga turnover turun & produktifitas meningkat.

Berikut definisi / mental model yang dimaksud.

Tiga Level Budaya:

  1. Artefak Budaya (bagian yang terlihat & bisa dirasakan dari budaya)
  2. Kepercayaan & Nilai yang Diklaim
  3. Asumsi Paling Dasar (bagian yang kasat mata & seringnya ada di alam bawah sadar orang-orangnya)

Di bawah ini ada metafora-nya Edgar Schein untuk memahami tiga level di atas. Sedikit aku modif biar makin memudahkan. :)

Analogi Budaya Kolam Bunga Lili

Sekarang, mari kita petakan cerita Agus di atas ke mental model-nya Edgar.

  • Telatnya interviewer –> KEMUNGKINAN BESAR adalah artefak budaya – atau hanya kebetulan belaka.
  • Nilai “tepat waktu” di kantin –> Sudah jelas, kepercayaan atau nilai yang diklaim.
  • Lalu, ada di mana asumsi paling dasar, yang juga adalah sumber dari semua artefak budaya? –> Dia ada di kepala semua orang di organisasi. Buat mayoritas dari mereka, bahkan ada di alam bawah sadar. Asumsi paling dasar itulah yang Agus ingin investigasi di masa probation dia. Caranya, ya dengan menjawab pertanyaan ini:
    • “Apa sih standar ‘tepat waktu’ buat orang-orang ini? Jangan-jangan kalau lima menit ke bawah masih oke, dan hukuman sosial baru muncul kalau sudah telat 6 menit ke atas?”
    • “Mereka sendiri satu suara terkait standar ‘tepat waktu’? Jangan-jangan CEO-nya sendiri juga ga selalu tepat waktu, sehingga pegawai-pegawainya jadi beda-beda terkait kebiasaan tepat waktunya?”

Agus tahu dia ga bisa menjawab pertanyaan di atas dengan sekedar bertanya. Dia harus mengobservasi tindakan orang-orang. Agus paham, asumsi paling dasar itu seringnya tersebar di level alam bawah sadar, tanpa satupun instruksi verbal!

Tindakan itu lebih nyaring dari kata-kata.

Tidak ada budaya yang buruk. Organisasi yang orang-orangnya kompak telat berjamaah masih bisa berkerja dan jadi organisasi yang bahagia — selama mereka ga mengklaim bahwa mereka tepat waktu ke klien & diri mereka sendiri.

Yang ada, hanyalah budaya yang kuat & yang lemah. Satu-satunya cara memperkuat budaya kita, adalah dengan menyelaraskan ketiga level budaya di atas. Artefak budaya = nilai & kepercayaan yang diklaim = asumsi paling dasar.

Kenapa? Karena…

"Ga ada satu orangpun yang suka dengan orang munafik. Ga ada. Ada pelaku kriminal yang harus berlaku munafik di depan calon korbannya. Tapi dia tetap dituntut untuk tidak munafik oleh rekan-rekan kriminalnya. Di sisi lain, mustahil kita untuk terus bungkam & tidak mengklaim bahwa kita punya nilai atau kepercayaan tertentu. Artinya? Cukup satu langkah yang salah, kita semua resmi jadi orang munafik. Kapan? Saat kita mempublikasi nilai-nilai kita; seorang rekruter menjual budaya perusahaan di iklan lowongan pekerjaan; seorang manager menceramahi idealisme-(palsu)-nya ke bawahan; atau saat seorang bos langsung memaksakan implementasi framework agile (Scrum, Kanban, dll) atau aturan lainnya (OKR, ESOP, dll)."

Yup, kamu ga salah baca bagian terakhir di atas. Mengimplementasi Scrum/Kanban/OKR/ESOP = Mengklaim kamu mempercayai nilai-nilai Scrum/Kanban/OKR/ESOP. Mereka memang diciptakan oleh penciptanya, untuk mewujudkan nilai-nilai/kepercayaan-kepercayaan/filosofi-filosofi tertentu. Silahkan baca panduan resmi atau sejarah penciptaannya jika tidak percaya.

Ketika asumsi paling dasar yang adi di kepala orang-orang di organisasi, bertentangan dengan nilai/kepercayaan framework/aturan yang baru saja ‘di-install’, masalah pasti akan muncul. Parahnya lagi, asumsi paling dasar itu biasanya berada di alam bawah sadar. Jadi, peluangnya cukup besar bahwa kita sebenarnya sedang duduk di atas bom waktu, tapi kita tidak sadar.

Agus paham itu semua.

Mari kita elaborasi kasus-kasus nyatanya di tulisan selanjutnya.


Tidak ingin ketinggalan tulisan seperti ini? Ingin juga membaca ide-ide inovatif / hal-hal menarik di luar topik budaya? Subscribe


Komentar